PT RIFAN FINANCINDO BANDUNG - Hubungan Amerika Serikat dan China yang kian memanas membuat banyak investor dan analis khawatir mengenai masa depan kedua negara adidaya ini. Bahkan ada tanda-tanda AS-China mulai berpisah menurut beberapa pengamat.
Dalam beberapa bulan terakhir, AS yang kini dipimpin oleh Presiden Donald Trump, mulai menargetkan beberapa perusahaan teknologi besar China dengan tujuan mempersulit bisnis mereka di Negara Paman Sam. Perusahaan pembuat ponsel pintar Huawei dan perusahaan ByteDance, pemilik aplikasi berbagi video pendek TikTok, merupakan salah satu korban Trump. Trump juga berulang kali mengatakan adanya kemungkinan 'perceraian' antara AS dan China. Namun, berbagai kumpulan data menunjukkan hal itu tidak akan mungkin untuk saat ini, sebab kedua negara telah terhubung selama satu dekade terakhir. Selain itu, masyarakat AS akan menggelar pemilihan presiden pada November mendatang. Trump nantinya akan melawan Joe Biden, calon presiden dari kubu Demokrat. Keduanya akan melakukan debat pertama Berikut tiga alasan yang menunjukkan seberapa besar ekonomi AS dan China bergantung satu sama lain, siapapun presidennya, sebagaimana dikutip dari CNBC International Sebagian besar hubungan antara AS dan China berpusat pada perdagangan dan kedua negara telah menjadi mitra dagang utama satu sama lain selama bertahun-tahun. Namun hubungan itu mulai meretak setelah munculnya pertarungan tarif pada 2018. Tetapi data Biro Analisis Ekonomi (Bureau of Economic Analysis/BEA) menunjukkan perdagangan bilateral barang dan jasa masih mencapai US$ 636,8 miliar tahun 2019 lalu. Meskipun begitu, hubungan dagang keduanya jadi tidak seimbang. AS mengimpor jauh lebih banyak dari China daripada mengekspornya ke negara Asia; tetapi kebalikannya terlihat dalam perdagangan jasa, di mana China membeli lebih banyak dari AS daripada jumlah yang dijualnya, menurut data BEA. Kedua negara juga mencoba mengatasi ketidakseimbangan perdagangan barang mereka dengan meminta China untuk menyetujui impor lebih banyak dari AS yang masuk dalam kesepakatan perdagangan fase satu yang ditandatangani awal tahun 2020 ini. Tetapi para ahli mengatakan perdagangan antara kedua negara kemungkinan akan semakin memburuk tahun ini akibat pandemi virus korona melanda aktivitas ekonomi global. Laporan Fitch Ratings pada Agustus memperlihatkan jika di luar perdagangan langsung, AS dan China juga menjadi "semakin saling bergantung melalui peningkatan hubungan rantai pasokan selama dekade terakhir". Rantai pasokan adalah jaringan kompleks perusahaan yang bekerja sama untuk menyediakan bahan baku, suku cadang, atau keahlian untuk menghasilkan produk atau layanan akhir yang dapat dikonsumsi baik di dalam negeri maupun secara global. Data Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) pada 2015 menyatakan input asing menyumbang 12,2% atau sekitar US$ 2,2 triliun dari total barang dan jasa yang dikonsumsi di AS. China adalah negara penyumbang terbesar dari input asing tersebut. Beberapa produsen di AS sangat bergantung pada China untuk input perantara atau produk akhir, kata Fitch mengutip data OECD. Mereka termasuk produsen tekstil, elektronik, logam dasar, dan mesin Amerika. Di China, pemasok asing menghasilkan sekitar 14,2%, atau US$ 1,4 triliun, dari total barang dan jasa yang dikonsumsi di dalam perbatasannya pada tahun 2015. AS juga merupakan negara penyumbang tunggal terbesar untuk masukan asing tersebut. Berbeda dengan ketergantungan AS pada input China di sektor manufaktur, China "jauh lebih" bergantung pada kontribusi Amerika dalam jasa, menurut Fitch. Terakhir adalah arus investasi antara AS-China. Meskipun diketahui jika arus investasi antara kedua negara menurun seiring dengan meningkatnya ketegangan bilateral. Data Rhodium Group menyatakan selama tiga tahun terakhir, nilai total investasi asing langsung dan kesepakatan modal ventura antar negara telah menurun Sebuah "tren penting adalah penurunan akuisisi China atas aset teknologi AS," kata Rhodium Group dalam laporan terbaru bulan ini. Sementara itu investasi AS di China relatif "lebih tangguh", tambahnya. Bahkan banyak bisnis AS yang beroperasi di China mengatakan mereka belum ingin pindah. Lembaga pemeringkat mengutip survei yang dilakukan tahun lalu oleh Kamar Dagang Amerika di China, di mana 83% responden mengatakan mereka tidak mempertimbangkan untuk merelokasi manufaktur atau mencari sumber di luar China. Proporsi perusahaan yang berniat untuk tetap di China telah meningkat dibandingkan dengan survei sebelumnya, dari 80% pada 2018 dan 77% pada 2017, menurut data Fitch - PT RIFAN FINANCINDO Sumber : cnbcindonesia.com
0 Comments
Leave a Reply. |
AuthorWrite something about yourself. No need to be fancy, just an overview. Archives
February 2022
Categories |