PT RIFAN FINANCINDO BANDUNG - Tahun 2020 yang sebentar lagi berakhir menjadi tahun jungkir balik bagi pasar finansial global. Pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19) yang belum pernah terjadi di era modern membuat perekonomian global merosot, bahkan masuk ke jurang resesi. Alhasil, aset-aset investasi, terutama yang berisiko tinggi menjadi ambrol.
Pasar saham di bulan Maret lalu mengalami aksi jual besar-besaran, sebelum berhasil bangkit semester II 2020. Memang beberapa saham ada yang cuan jumbo, tetapi secara keseluruhan jika dilihat dari Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih membukukan pelemahan 3,1% sepanjang tahun ini. Kemudian reksa dana, kinerjanya juga kurang menggembirakan. Melansir data dari Bareksa, indeks reksa dana saham dalam satu tahun terakhir minus 6,99%, indeks reksa dana campuran menguat tipis 0,66%, sementara reksa dana pasar uang turun tipis 0,44%. Namun, reksa dana pendapatan tetap mampu menguat 7,81%. Baik IHSG maupun berapa reksa dana menunjukkan kinerja negatif di tahun ini, tetapi jika melihat beberapa bulan ke belakang justru melesat tinggi. IHSG sudah menguat 11 pekan beruntun, dengan total persentase nyaris 24%. Kemudian indeks reksa dana saham melesat 21% dalam 3 bulan terakhir, indeks reksa dana campuran 12,35%, sementara indeks reksa dana pendapatan tetap justru penguatannya terpangkas menjadi 3,55%. Maklum saja, kondisi perekonomian global berangsur-angsur mulai membaik, apalagi setelah vaksinasi dimulai, sentimen pelaku pasar pun membaik dan kembali masuk ke aset-aset berisiko. Sementara aset aman (safe haven) yang merupakan lawan aset berisiko masih mampu membukukan penguatan. Tetapi jangan salah, di bulan Maret lalu harga emas dunia juga ikut ambrol. Saat itu, virus corona ditetapkan sebagai pandemi, yang menyebabkan aksi jual masih di berbagai aset. Saat itu muncul istilah "cash is the king", pelaku pasar mencairkan asetnya dan memilih memegang uang tunai. Tetapi bukan sembarang uang tunai, hanya dolar AS, sementara mata uang lainnya rontok. Tetapi, di semester berbalik lagi, dolar AS justru keok, dan mata uang lainnya mulai merangkak naik. Berikut beberapa investasi yang akhirnya cuan di tahun ini Mata uang yang paling berjaya di tahun ini adalah Krona Swedia, yang mampu membukukan penguatan 13,2% melawan dolar AS. Ketika mata uang tersebut menguat tajam melawan dolar AS, maka hal yang sama terjadi ketika berhadapan dengan rupiah. Melansir data Refinitiv, krona Swedia membukukan penguatan lebih dari 15% melawan rupiah sepanjang tahun ini. Namun, krona tentunya kurang familiar bagi masyarakat Indonesia. Ada 2 mata uang yang familiar dan penguatannya juga mencapai 2 digit, yakni dolar Australia dan euro. Dolar Australia belakangan ini terus menguat akibat membaiknya kondisi ekonomi. Biro Statistik Australia kemarin melaporkan tingkat pengangguran turun menjadi 6,8% dari bulan Oktober sebesar 7%. Selain itu, sepanjang bulan November terjadi perekrutan tenaga kerja sebanyak 70 ribu orang. Data tersebut mengkonfirmasi membaiknya perekonomian Australia. Di awal bulan ini, bank sentralnya (Reserve Bank of Australia/RBA) menunjukkan optimisme terhadap kondisi perekonomian. Pada hari Selasa (1/12/2020), RBA dalam pengumuman rapat kebijakan moneter hari ini mempertahankan suku bunga 0,1%. Gubernur RBA, Philip Lowe, menunjukkan sikap optimis perekonomian Australia akan bangkit dari resesi yang terjadi untuk pertama kalinya dalam 3 dekade terakhir. Ia optimis dalam pemulihan ekonomi Australia, sebab perekonomian sudah dibuka kembali dan penambahan kasus baru penyakit virus corona (Covid-19) nyaris 0. "Pemulihan ekonomi sedang berlangsung, dan data ekonomi yang dirilis belakangan ini lebih baik dari perkiraan sebelumnya," kata Lowe, sebagaimana dilansir Reuters. Artinya, ketika sukses meredam Covid-19 dan perekonomiannya bangkit, maka mata uangnya akan ikut menguat. Sementara itu, Eropa dulu sukses meredam Covid-19, tetapi belakangan kembali mengalami serangan gelombang kedua. Tetapi, perekonomiannya masih cukup kuat, terlihat dari sektor manufaktur masih mampu mempertahankan ekspansi, bahkan lebih tinggi lagi. PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di atasnya berarti ekspansi, sementara di bawah berarti kontraksi. Data dari Markit menunjukkan purchasing managers' index (PMI) manufaktur Prancis sebesar 51,1 di bulan ini, naik dari bulan November sebesar 49,6. Sementara itu motor penggerak ekonomi Eropa, Jerman, PMI manufakturnya tercatat sebesar 58,6, lebih tinggi dari sebelumnya 57,8. Untuk zona euro secara keseluruhan, PMI manufaktur tercatat sebesar 57,3, naik dari sebelumnya 55,6. Alhasil, nilai tukar euro terus menguat melawan rupiah - PT RIFAN FINANCINDO Sumber : cnbcindonesia.com
0 Comments
Leave a Reply. |
AuthorWrite something about yourself. No need to be fancy, just an overview. Archives
February 2022
Categories |