PT RIFAN BANDUNG - Pembicaraan mengenai kapan bank sentral Amerika Serikat (AS) alias Federal Reserve (The Fed) mulai memutuskan mengurangi program pembelian aset (quantitative easing/QE) atau yang dikenal dengan tapering off terus menghiasi pemberitaan akhir-akhir ini.
Sebelumnya, kebijakan moneter longgar dengan memasok uang lebih banyak ke pasar dilakukan The Fed untuk membantu ekonomi AS yang terkontraksi akibat pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung sejak awal tahun lalu. Setelah berbulan-bulan penuh pertanyaan mengenai jadwal tapering The Fed, pada akhir bulan lalu Ketua The Fed Jerome Powell telah mengindikasikan bahwa pemangku kebijakan di bank sentral terkuat dunia tersebut sepakat pengurangan pembelian aset bisa dimulai secepatnya pada November tahun ini, selama angka tenaga kerja September bagus. Peluang tapering di akhir tahun semakin menguat melihat proyeksi suku bunga terbaru The Fed. Mayoritas anggota The Fed kini melihat suku bunga akan dinaikkan tahun depan, lebih cepat dari proyeksi sebelumnya pada tahun 2023. Apalagi, Powell juga menyatakan tapering akan selesai pertengahan tahun depan. Nilai QE saat ini sebesar US$ 120 miliar per bulan. Dari total US$ 120 miliar/bulan saat ini, The Fed membeli Treasury sebesar US$ 80 miliar/bulan dan efek beragun aset KPR US$ 40 miliar/bulan. Kepala investasi di BlackRock, Rick Rieder, memperkirakan saat tapering dilakukan The Fed akan memangkas US$ 10 miliar pembelian obligasi (Treasury) dan US$ 5 miliar pembelian efek beragun aset KPR. Artinya, jika The Fed konsisten setiap bulannya melakukan tapering US$ 10 miliar untuk Treasury dan US$ 5 miliar, maka nilai quantitative easing baru akan nol dalam tempo 8 bulan. Persis seperti proyeksi Powell selesai di pertengahan tahun depan. Data Pekerjaan Meleset, Tapering Bakal Tetap Dilakukan Akhir Tahun? Sementara, pada Jumat waktu AS, data pemerintah menunjukkan jumlah lapangan kerja baru (di luar sektor pertanian) di AS hanya bertambah 194.000 pada September, atau jauh dari ekspektasi dalam survei Reuters di angka 500.000. Realisasi itu juga lebih buruk dari angka Agustus (versi revisi) yang sebesar 366.000, atau lebih tinggi dari pembacaan awal sebanyak 235.000. Namun, Kathy Lien, Managing Director di BK Asset Management di New York, berpendapat bahwa The Fed akan tetap mulai melakukan tapering terlepas data pekerjaan tidak sebagus yang diharapkan. "Saya pikir Federal Reserve (The Fed) menjelaskan dengan sangat jelas bahwa mereka tidak memerlukan laporan pekerjaan blockbuster untuk mulai melakukan tapering pada bulan November," kata Kathy Lien, kepada Reuters, dikutip CNBC Indonesia, Sabtu. Kathy melanjutkan, menurutnya, The Fed akan tetap di jalurnya alias bakal tetap melakukan tapering mulai akhir tahun ini. Pertanyaannya, apabila tapering terjadi pada November atau bulan depan, aset apa yang perlu dihindari? Ada satu di antara sejumlah aset lainnya, yang menderita selama pembicaraan soal tapering dimulai sepanjang tahun ini. Aset tersebut adalah emas. Melihat Kembali 8 Tahun Silam Berkaca pada kejadian 8 tahun lalu, atau 2013, ketika tapering membuat emas dunia masuk ke dalam tren bearish hingga tahun 2015. Harga emas pun hancur. Menurut catatan Tim Riset CNBC Indonesia, titik terendah emas yang dicapai yakni US$ 1.045,85/troy ons pada 3 Desember 2015. Jika dilihat dari rekor tertinggi saat itu yang dicapai pada September 2011 US$ 1.920,3/troy ons hingga ke level terendah tersebut, artinya harga emas dunia ambrol 45,54% dalam tempo 4 tahun. Ketakutan tersebut tentunya muncul lagi di tahun ini, sebab The Fed sudah berancang-ancang melakukan tapering. Sejak mencapai rekor tertinggi sepanjang masa US$ 2.072,49/troy ons pada 7 Agustus 2020 lalu, harga emas cenderung menurun. Salah satu penyebabnya ekspektasi tapering. Memang, tapering, yang nantinya bisa diikuti dengan kenaikan suku bunga acuan--dan mungkin juga imbal hasil obligasi AS (US Treasury tenor 10 tahun)--bisa menekan harga emas. Ini lantaran permintaan terhadap emas berbanding terbalik dengan tingkat suku bunga--semakin tinggi suku bunga, akan membuat permintaan emas rendah dan begitu pula sebaliknya. Selama ini, emas cenderung akan dijadikan aset lindung nilai (hedging) jangka panjang oleh investor ketika ekonomi kurang bersahabat, seperti misalnya ketika inflasi melesat. Tetapi, seperti disebutkan di atas, The Fed akan melakukan tapering pada akhir tahun ini seiring laju inflasi yang tergolong tinggi dan data ekonomi lainnya 'bagus' demi mencegah mesin ekonomi panas (overheating). Tentu, ini bukan kabar baik bagi si logam kuning. Menurut data Refinitiv, harga emas dunia di pasar spot turun 0,21% ke posisi US$ 1.756,67/troy ons dalam sepekan. Selama sebulan emas melorot 3,64%, sedangkan sepanjang 2021 ambles 7,37%. Masih Ada Harapan untuk Emas? Tapering memang akan membuat harga emas tertekan, tetapi kali ini justru banyak yang melihat emas masih punya kesempatan melesat. Bank of America (BofA) menjadi salah satu institusi yang memprediksi harga emas akan melesat lagi. BofA mengakui jika tapering akan menekan dan membatasi penguatan harga emas, tetapi tidak menghilangkan potensi emas ke US$ 1.900/troy ons di akhir tahun ini. BofA menjelaskan, emas akan berada di rentang US$ 1.800/troy ons dalam 3 bulan terakhir atau sepanjang kuartal IV tahun ini. Dalam proyeksi terbarunya yang dirilis akhir Agustus, analis komoditas dari BofA mengatakan emas kehilangan kemilaunya karena para investor menanti kepastian tapering dari The Fed. Tetapi, ada satu hal yang membuat outlook emas cerah, yakni inflasi yang tinggi di Amerika Serikat (AS). "Saat perekonomian AS terakselerasi, inflasi seharusnya naik, dengan pasar melihat outlook inflasi yang melandai, ketika terjadi kenaikan tajam maka hal itu akan mendorong kenaikan harga emas. Fokus pelaku pasar tertuju pada tapering, sehingga emas menjadi kurang menarik bagi investor saat ini," kata analis BofA, sebagaimana dilansir Kitco. Selain itu, investor ternama Jeffery Gundlach yang dikenal sebagai "Raja Obligasi" juga melihat harga emas akan terus menanjak. Tetapi Gundlach melihatnya dalam jangka panjang akibat dolar AS yang akan mengalami penurunan. Menurutnya, penurunan dolar AS tidak bisa dihindari, sebab kebijakan ekonomi yang diterapkan pemerintah AS, yang membuat utang menjadi membengkak. Ia memprediksi dolar AS setidaknya akan ambrol 25%. "Keyakinan saya yang pertama adalah dalam beberapa tahun ke depan, saya tidak berbicara hitungan bulan sama sekali tetapi tahun, dolar AS akan terus mengalami penurunan," kata Gundlach pada Yahoo Finance. Penurunan dolar AS menjadi salah satu alasan kita akan memilih emas. Saya pikir harga emas akan naik sangat tajam, tetapi saat ini masih berhibernasi," tambahnya. Memang, saat ini pemulihan ekonomi global masih berpotensi diwarnai hambatan, termasuk sentimen negatif dari kasus krisis likuiditas perusahan properti di China hingga krisis energi yang dialami sejumlah negara. Lebih lanjut, analis Sprott Asset Management dalam ulasannya di Kitco, pada Selasa, menjelaskan, selain hal di atas, masih rendahnya suku bunga juga riil turut menyumbang dorongan terhadap harga emas. "Ketidakpastian pasar yang meningkat dan adanya tanda-tanda pelemahan pertumbuhan ekonomi global menjadi alasan kuat bagi para investor untuk mempertimbangkan lagi emas," jelasnya - PT RIFAN Sumber : cnbcindonesia.com
0 Comments
Leave a Reply. |
AuthorWrite something about yourself. No need to be fancy, just an overview. Archives
February 2022
Categories |