PT RIFAN FINANCINDO BANDUNG - Pekan ini nilai dolar Amerika Serikat (AS) tercatat terus mengalami penguatan. Bahkan telah mendekati level Rp 14.400.
Sejumlah ekonom menyebutkan penguatan ini terjadi akibat kondisi eksternal mulai dari ekspektasi kenaikan bunga acuan The Federal Reserve hingga kekhawatiran perang dagang antara Amerika Serikat (AS). Penguatan dolar ini menyebabkan rupiah keok. Namun tak hanya rupiah, sejumlah mata uang negara lain juga tersungkur akibat mata uang Paman Sam yang makin perkasa ini. Niilai dolar AS pedagangan kemarin (28/6) tercatat di atas Rp 14.200. Mengutip data Reuters dolar sudah menyentuh Rp 14.314 dan dari data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) perdagangan pagi tercatat Rp 12.277. Ekonom PermataBank Josua Pardede menjelaskan penguatan dolar AS terjadi karena sentimen global. Mulai dari ekspektasi kenaikan bunga acuan Bank Sentral AS The Federal Reserve hingga sentimen perang dagang antara AS dan China. Menurut dia, penguatan dolar terus terjadi meskipun sentimen sempat mereda akibat statement yang dikeluarkan pihak White House. "Sentimen memang mereda tapi dolar juga masih kuat. Tak hanya di Indonesia ini juga terjadi di kawasan Asia, Yuan China jadi mata uang yang memimpin pelemahan ini," kata Josua saat dihubungi detikFinance, Kamis (28/6/2018). Dia menjelaskan, selain itu dalam satu pekan terakhir juga terjadi peningkatan imbal hasil pada surat utang negara (SUN) ini juga menyebabkan pelemahan terhadap Rupiah. Josua menambahkan, jika dilihat memang dolar masih kuat jika dibandingkan dengan mata uang negara berkembang. Hingga pekan ini dolar diprediksi masih akan bertengger di posisi Rp 14.200an. Menurut dia, penguatan dolar hari ini (28/6) menyebabkan pelemahan yang paling dalam terhadap Rupiah. Josua menyebut ini harus menjadi concern Bank Indonesia (BI) untuk menstabilkan nilai tukar. "Jika dilihat BI sudah mengeluarkan statement akan melakukan langkah preemtive, untuk menjaga kestabilan Rupiah dengan memanfaatkan kenaikan bunga," ujar dia. Dia menjelaskan, pergerakan nilai tukar ini harus terus dipantau karena jika nilai tukar sudah tidak sesuai dengan fundamentalnya maka akan mengganggu stabilitas perekonomian domestik. Melansir data Reuters, Kamis (28/6/2018), dalam periode dari awal tahun hingga hari ini peso Argentina tercatat turun yang paling dalam yakni 32,13%. Posisi kedua dari paling buncit ada lira. Mata uang Turki tercatat sudah anjlok 17,75%. Lalu ada real Brasil yang turun 14,34% dan diikuti oleh rand Afrika Selatan yang turun 10,44%. Sedangkan Rupiah sendiri berada di posisi 11 daru bawah. Rupiah tercatat sudah anjlok 5,71%. Hari ini Rupiah sudah tembus di atas level Rp 14.300. Sementara yang tercatat menguat terhadap dolar AS dalam periode yang sama hanya peso Colombia. Tercatat mata uang ini menguat 1,76% terhadap dolar AS. Ringgit Malaysia juga ternyata bernasib lebih baik. Meskipun ringgit Malaysia hanya menguat 0,05%. Langkah Bank Indonesia (BI) kembali menaikkan suku bunga acuan BI 7 Days Repo Reverse Rate dinilai bisa menenangkan gejolak nilai rupiah yang saat ini mengalami pelemahan. Direktur Riset Center of Reform on Economy (CORE) Indonesia Piter Abdullah Redjalam mengatakan kenaikan suku bunga hanya menjadi solusi jangka pendek untuk meredam pergerakan dolar Amerika Serikat (AS). "Pasar menunggu kebijakan suku bunga BI yang baru, yang sedang digodok di RDG BI hari ini dan besok," kata Piter saat dihubungi detikFinance, Jakarta, Kamis (28/6/2018). Dia menuturkan faktor eksternal seperti kenaikan suku bunga The Fed serta kondisi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China masih menjadi faktor pelemahan nilai rupiah. "Pada kondisi sekarang ini kenaikkan suku bunga memang lebih ditujukan untuk meredam gejolak dengan cara menahan capital outflow," jelas dia. Sehingga, lanjut Piter, langkah BI menaikkan kembali suku bunga acuan bukan menjadi salah satu langkah meredam pelemahan rupiah. "BI juga harus tetap terus menjaga suplai demand valas, melakukan intervensi sesuai kebutuhan," ujar dia. Ekonom PermataBank Josua Pardede menjelaskan pergerakan nilai tukar Rupiah harus terus diwaspadai. Menurut dia, Rupiah yang terlalu lemah dan tak sesuai fundamentalnya akan mengganggu perekonomian domestik. Karena itu, Bank Indonesia (BI) harus terus menjaga agar rupiah tetap stabil dengan melakukan pengetatan moneter, sentimen global seperti kebijakan The Federal Reserve (The Fed) hingga perang dagang. Josua mengungkapkan, hari ini Rupiah melemah paling dalam jika dibandingkan dengan negara-negara di Asia. "Hari ini lemahnya paling dalam dibanding negara lain, apalagi kemarin tutup ya. Jadi pelemahannya terasa sekarang," ujar Josua saat dihubungi detikFinance, Kamis (28/6/2018). Dia menambahkan dalam satu pekan memang terjadi kenaikan imbal hasil pada surat utang negara (SUN) yang menyebabkan adanya penarikan dari pihak asing. Menurut Josua dengan kondisi seperti ini peluang BI untuk meningkatkan suku bunga acuan semakin besar. Dia memprediksi rapat dewan gubernur (RDG) BI yang digelar hari ini dan besok akan menaikkan suku bunga sebanyak 25 basis poin (bps). Dia menjelaskan kenaikan ini diharapkan bisa membantu BI untuk menahan tekanan terhadap Rupiah. "Kenaikan bunga acuan menjadi 5% dan langkah BI dengan relaksasi makroprudensial diharapkan bisa menjaga stabilitas nilai tukar," ujarnya. Selain itu kebijakan yang ditempuh BI diharapkan bisa menjaga momentum pertumbuhan dan tetap menjaga current account deficit (CAD). Ekonom dari Bank Central Asia (BCA) David Sumual memproyeksikan, pelemahan nilai rupiah bakal berlangsung sampai semester II-2018. "Ya ini masih tergantung eksternal, saya bilang mungkin tergantung juga gimana keberlanjutan isu perang dagang, kalau mereda bisa bantu rupiah, lalu isu The Fed yang bagaimana kondisi ekonomi AS, saya perkirakan tekanan berlangsung sampai semester II," kata David saat dihubungi detikFinance, Jakarta, Kamis (28/6/2018). Dia menyebut tren pelemahan nilai rupiah juga masih bisa diantisipasi oleh Bank Indonesia (BI) dengan menaikkan kembali suku bunga acuannya. Langkah tersebut dianggapnya bisa menahan pelemahan rupiah terlalu dalam. "Ekonomi kita masih tergantung impor, untuk ekspor pun masih butuh impor bahan baku cukup besar, jadi BI menyadari bahwa volatilitas atau pelemahan yang dalam itu karena kita masih bergantung impor, dana asing, jadi dilematis dan untuk mengantisipasi gejolak dengan menaikan suku bunga," kata dia. Diketahui, diikuti dari Reuters, Kamis (28/6/2018). Dolar AS bergerak dari Rp 14.173 dan melonjak ke level tertingginya di Rp 14.270. The Greenback kemudian sempat turun lagi ke Rp 14.255 dan naik lagi hingga Rp 14.275. Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual yakin bahwa rupiah tidak akan melemah jauh bahkan sampai Rp 16.000 seperti saat krisis 1998. "Enggak sih saya bilang," kata David saat dihubungi detikFinance, Jakarta, Kamis (28/6/2018). Sebelum melemah lebih dalam, David pun yakin bahwa Bank Indonesia (BI) akan melakukan berbagai langkah untuk menenangkan pasar. Dia bilang, posisi rupiah yang sudah di level Rp 14.277 ini pun menjadi titik yang paling rendah. Hal ini juga membuat para investor menghitung ulang investasinya. Sebab, nilai aset dalam rupiah menjadi lebih murah dan menjadi menarik untuk ajang investasi. "Dan dari sisi fundamental, cadev kita sudah lebih bagus, jadi bisa smoothing," ungkap dia. Mengutip data perdagangan Reuters, nilai tukar dolar AS terus menguat sejak awal tahun 2018. Dolar AS pada Januari berada di level Rp 13.560 dan sempat turun ke Rp 13.284. Memasuki Februari, dolar AS kembali menguat ke level Rp 13.665 dan sempat turun ke Rp 13.555. Dolar AS juga kembali menguat hingga level Rp 13.689. Tren penguatan dolar AS berlanjut di bulan berikutnya. Pada Maret, dolar AS berada di level Rp 13.874 dan bergerak tidak terlalu jauh hingga April di level Rp 13.770. Pada Mei, dolar AS semakin perkasa terhadap rupiah. Dolar AS berada di level Rp 13.937 hingga menyentuh Rp 14.027 dan sempat turun lagi ke Rp 13.946. Pelemahan dolar AS tidak berlangsung lama, mata uang Paman Sam kembali menguat terhadap rupiah ke level Rp 14.084 hingga Rp 14.213. Setelah itu, dolar AS perlahan turun cukup dalam ke level Rp 13.841 namun selanjutnya terus mengalami penguatan hingga hari ini. Meski demikian, posisi tersebut masih lebih rendah dibandingkan posisi tertinggi di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Rp 14.710. Posisi nilai tukar dolar AS terhadap rupiah tersebut dicatatkan pada 24 September 2015. Mengutip data RTI, pada 24 September 2015, dolar AS dibuka Rp 14.610, tertinggi di 14.855 dan terendah di 14.710. sumber : finance.detik.com baca juga : PT RIFAN FINANCINDO | Sosialisasi Perdagangan Berjangka Harus Lebih Agresif: Masih Butuh Political Will Pemerintah PT RIFAN FINANCINDO BERJANGKA | Rifan Financindo Berjangka Gelar Sosialisasi Cerdas Berinvestasi PT RIFAN FINANCINDO BERJANGKA BANDUNG | PT Rifan Financindo Berjangka Buka Workshop Apa Itu Perusahaan Pialang, Masyarakat Harus Tahu RIFAN FINANCINDO | Kerja Sama dengan USU, Rifan Financindo Siapkan Investor Masa Depan PT RIFAN | Bursa Berjangka Indonesia Belum Maksimal Dilirik Investor RIFANFINANCINDO | Rifan Financindo Intensifkan Edukasi RIFAN FINANCINDO BERJANGKA | Berburu keuntungan berlimpah melalui industri perdagangan berjangka komoditi RIFAN | Rifan Financindo Optimistis Transaksi 500.000 Lot Tercapai PT. RIFAN FINANCINDO BERJANGKA | Sharing & Diskusi Perusahaan Pialang Berjangka PT. RFB PT. RIFAN | PT Rifan Financindo Berjangka Optimistis PBK Tetap Tumbuh di Medan RIFAN BERJANGKA | Bisnis Investasi Perdagangan Berjangka Komoditi, Berpotensi tapi Perlu Kerja Keras PT. RIFAN FINANCINDO | JFX, KBI dan Rifan Financindo Hadirkan Pusat Belajar Futures Trading di Kampus Universitas Sriwijaya PT RIFANFINANCINDO | RFB Surabaya Bidik 250 Nasabah Baru hingga Akhir Tahun PT RFB | PT RFB Gelar Media Workshop PT RIFANFINANCINDO BERJANGKA | Mengenal Perdagangan Berjangka Komoditi, Begini Manfaat dan Cara Kenali Penipuan Berkedok PBK RFB | RFB Masih Dipercaya, Transaksi Meningkat
0 Comments
Leave a Reply. |
Official Website
PT Rifan Financindo Berjangka Archives
January 2021
Categories |